Aku Ingin Bahagia!
Bagian 1 — Menemukan Arti Kebahagiaan Sejati
Siapa di antara kita yang tidak ingin bahagia?
Setiap insan pasti mendambakannya — bahagia di dunia, dan lebih-lebih lagi di akhirat.
Namun, tidak sedikit manusia yang salah memahami arti kebahagiaan.
Sebagian mengira bahwa orang yang bahagia adalah yang paling berharta.
Sebagian lagi meyakini bahwa kebahagiaan terletak pada jabatan tinggi, kemewahan hidup, atau kebebasan tanpa batas dan aturan.
Padahal, banyak yang lupa bahwa standar kebahagiaan duniawi hanyalah semu dan fana.
Prestasi, jabatan, dan kekayaan — semuanya akan sirna. Entah manusia yang lebih dulu meninggalkannya, atau dunia yang meninggalkannya.
Bahkan, semua itu akan menjadi pertanyaan di hadapan Allah Ta‘ala.
ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
(QS. At-Takātsur [102]: 8)
Seandainya ukuran bahagia adalah kekuasaan dan kedudukan, maka Fir‘aun seharusnya menjadi manusia paling bahagia.
وَنَادَىٰ فِرْعَوْنُ فِى قَوْمِهِۦ قَالَ يَٰقَوْمِ أَلَيْسَ لِى مُلْكُ مِصْرَ وَهَٰذِهِ ٱلْأَنْهَٰرُ تَجْرِى مِن تَحْتِىٓ ۖ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan Fir‘aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan sungai-sungai ini mengalir di bawahku? Maka apakah kalian tidak melihat(nya)?’”(QS. Az-Zukhruf [43]: 51)
Namun, kekuasaan yang diagung-agungkannya justru menjerumuskannya ke dalam kebinasaan.
وَأَغْرَقْنَآ ءَالَ فِرْعَوْنَ ۚ وَكُلٌّ كَانُوا۟ ظَٰلِمِينَ
“Dan Kami tenggelamkan Fir‘aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anfāl [8]: 54)
Seandainya ukuran bahagia adalah banyaknya harta,
maka Qārūn pasti menjadi manusia paling bahagia.
إِنَّ قَٰرُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ مِنَ ٱلْكُنُوزِ مَآ إِنَّ مَفَاتِحَهُۥ لَتَنُوٓأُ بِٱلْعُصْبَةِ أُو۟لِى ٱلْقُوَّةِ ۖ إِذْ قَالَ لَهُۥ قَوْمُهُۥ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْفَرِحِينَ
“Sesungguhnya Qārūn adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka.
Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.
(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah engkau terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.’” (QS. Al-Qashash [28]: 76)
Namun, semua kekayaan itu tidak menyelamatkannya.
فَخَسَفْنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلْأَرْضَ
“Maka Kami benamkanlah Qārūn beserta rumahnya ke dalam bumi.” (QS. Al-Qashash [28]: 81)
Kebahagiaan juga bukan dengan mengikuti hawa nafsu dan tenggelam dalam kenikmatan dunia.
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ ٱلْأَنْعَٰمُ وَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan sebagaimana binatang ternak makan; dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 12)
Al-Qur’an telah memberikan jawabannya. Tidak ada jalan menuju kebahagiaan hakiki kecuali dengan iman dan amal shalih.
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (kebahagiaan), dan Kami akan beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)
Seorang penyair berkata:
لَعَمْرُكُ مَا السَّعَادَةُ جَمْع مَالٍ
وَلَكِنَّ التَّقِيَّ هُوَ السَّعِيدُ
وَتَقْوَى اللهِ خَيْرُ الزَّادِ ذُخْرًا
وَعِندَ اللهِ لِلْأَتْقَى مَزِيدُ
“Demi umurmu, kebahagiaan sejati bukanlah dengan menumpuk harta,
tetapi orang yang bertakwalah yang benar-benar bahagia.
Ketakwaan kepada Allah adalah sebaik-baik bekal,
dan di sisi Allah masih ada karunia yang lebih besar bagi orang yang bertakwa.”
Kebahagiaan sejati hanya bisa diraih dengan takwa, yaitu menjalankan amal shalih dengan keimanan yang benar.
Dan di antara tanda ketakwaan kepada Allah adalah ketika seseorang memiliki tiga sifat utama:
1. Bersyukur ketika diberi nikmat,
2. Bersabar ketika diuji,
3. Beristighfar ketika berbuat dosa.
Hidup kita tidak akan pernah lepas dari tiga keadaan ini —
nikmat, ujian, dan dosa. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya.
Maka jika engkau benar-benar ingin bahagia:
Bersyukurlah ketika mendapat nikmat, bersabarlah saat diuji, dan segeralah beristighfar ketika berdosa.
Karena di situlah letak kebahagiaan yang hakiki — kebahagiaan yang menenangkan hati, menumbuhkan iman, dan menuntun menuju surga Allah Ta‘ala.
Penulis : Ustadz Aldi Abul Mubarak
Pengajar Ma’had Al-Makna Al-Islami
Lumajang, 19 Jumadil Aqal 1447H

Posting Komentar untuk "Aku Ingin Bahagia!"
Posting Komentar