Widget HTML #1



Hukum Hewan Ternak yang Diberi Makan Kotoran atau Bangkai. (Bagian-2)

 


باسم الله والحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وعلى آله وصحبه أجمعين، وَبَعْدُ:


1) Definisi "Jallālah"

- Secara bahasa (etimologi) 

"Al-jallālah" adalah hewan ternak yang memakan "jillah" (yakni kotoran) (Lisanu Al-'Arab li Ibni Mandhur : 11/119)

- Secara istilah (terminologi)

"Al-jallālah" adalah 

- Hewan yang mayoritas makanannya adalah najis (bangkai, babi, dan sejenisnya).

- Hewan yang terlihat jelas bekas (pengaruh) najis pada tubuh atau bau badannya.

- Definisi lainnya (beragam dalam penafsiran ulama).


Imam an-Nawawi dalam al-Majmū‘ (9/28):


"والصَّحيحُ الَّذي عليه الجمهورُ: أنَّه لا اعتِبارَ بالكثرةِ، وإنَّما الاعتِبارُ بالرَّائحةِ والنَّتْنِ؛ فإنْ وُجِد في عَرَقِها وغَيرِه رِيحُ النَّجاسةِ؛ فجَلَّالَة، وإلَّا فلا."


"Pendapat yang benar menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah bahwa bukan menjadi tolok ukur banyak atau sedikitnya (najis yang dimakan oleh hewan), tetapi yang menjadi tolok ukur adalah bau dan aroma busuknya. Jika pada keringatnya atau selain itu (seperti nafas atau tubuhnya) tercium bau najis, maka hewan itu termasuk "jallālah" dan jika tidak, maka bukan."


2) Macam-macam "al-jallālah"

Hewan yang makan najis memiliki beberapa keadaan :

1. Jika hanya sedikit memakan najis, dan mayoritas makanannya adalah yang baik (suci), maka tidak termasuk "jallālah" secara istilah.


2. Jika mayoritas makanannya adalah najis dan mempengaruhi bau dan dagingnya, maka ini termasuk "jallālah".


3. Jika mayoritas makanannya adalah najis, namun tidak tampak pengaruhnya pada bau atau daging, apakah tetap disebut "jallālah"?

- Mazhab Hanbali : tetap disebut "jallālah" walau tidak tampak pengaruhnya.

- Sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah : tidak termasuk "jallālah" kecuali jika ada tanda-tanda (bau dan rasa).


3) Hukum "jallālah"


Dalil terkait "Jallālah"


1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Nabi ﷺ bersabda:


"نهى رسولُ الله ﷺ عن لَبَنِ شاةِ الجلَّالةِ"

“Rasulullah ﷺ melarang dari meminum susu kambing "jallālah".”

 (HR. Abu Dawud, no. 3785)


2. Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan:


"نهى رسولُ الله ﷺ يومَ خيبر عن لُحومِ الحُمُرِ الأهليَّة، وعن الجلَّالة؛ عن رُكوبِها وأكْلِ لَحمِها"

“Rasulullah ﷺ pada hari Khaibar melarang daging keledai jinak, dan "jallālah" : melarang menungganginya dan memakan dagingnya.”

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)


Hukum "Jallālah" :


- Pendapat pertama: bahwa hukumnya makruh. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, juga merupakan pendapat yang rajih (kuat) dalam mazhab Syafi’i, dan juga salah satu pendapat dalam mazhab Hanbali.


- Pendapat kedua: hukumnya boleh tanpa makruh, dan ini merupakan mazhab Māliki.


- Pendapat ketiga: bahwa hukumnya haram. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i, pendapat masyhur dalam mazhab Hanbali, dan juga merupakan pendapat mazhab Zhāhiri.


•> Apa yang haram/makruh?

Yang haram/makruh adalah memakan dagingnya, telurnya, meminum susunya, dan menungganginya.


4) Cara Menyucikan Hewan "Jallālah"

Hewan "jallālah" menjadi suci kembali untuk dimakan apabila:

- Dikarantina (tidak diberi makan najis).

- Diberi makanan yang suci.

- Dibiarkan dalam waktu tertentu hingga bau najis hilang.


Dalil:

1. Ijma’ (Konsensus Ulama):

Dinukil oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni : 9/414) dan Ibnu Taimiyah (Majmu' Al-Fatawa : 21/618) bahwa menyucikan Jalālah dengan memberi makanan yang suci adalah kesepakatan para ulama.


2. Qiyas (Analogi):

Karena penyebab keharamannya adalah memakan najis, jika najis itu hilang maka hukumnya pun hilang.

Dalam kaidah:

والحُكم إذا عُلِّق بعِلَّة، زال بزوالِها


"Jika hukum dikaitkan dengan sebab (illat), maka ketika sebab itu hilang, hukumnya pun hilang."


5) Lama Hewan "Jallālah" Dikarantina


Tidak ada batasan waktu tertentu.

Selama najisnya sudah hilang (tidak ada bau, tidak ada bekas najis), maka sudah suci dan boleh dimakan kembali.

Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Syafi’i, dan dipilih oleh Ibnu Hazm.


Alasan:

1. Karena yang dijadikan tolok ukur adalah hilangnya sifat najis yang membuat daging atau susu hewan itu tidak disukai (makruh/haram).

Ini adalah hal yang bisa dilihat dan dirasa secara nyata (seperti bau, warna, rasa daging/susu).


2. Karena tidak semua hewan sama kondisinya.

Maka, tidak bisa ditentukan waktu tetap.

Yang penting, najis dan baunya benar-benar hilang.


Kesimpulan

Maka yang lebih aman dan keluar dari khilaf (perselisihan ulama) adalah melakukan karantina pada hewan "jallālah" ketika hendak dikonsumsi.

الله أعلم


Penulis : Ustadz Aldi Abul Mubarak

Pengajar Ma’had Al-Makna Al-Islami 

Lumajang, 4 Muharram 1447H

Posting Komentar untuk "Hukum Hewan Ternak yang Diberi Makan Kotoran atau Bangkai. (Bagian-2)"

Yuk Jadi Orang Tua Asuh Santri Penghafal Al Qur’an